KARAKTERISTIK KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT
PADA ERA KERAJAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA
BAB I
Pendahuluan
Agama Hindu-Budha tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi
Anda, karena kedua agama tersebut mempengaruhi perkembangan awal sejarah Indonesia.
Agama Hindu merupakan suatu kepercayaan yang diciptakan oleh bangsa Arya yaitu
bangsa pengembara dari utara yang masuk ke India melalui celah Kaibar dan
menduduki lembah sungai Gangga dan Yamuna. Bangsa Arya mendesak bangsa Dravida.
Agama Hindu bersifat polytheisme dengan dewa utamanya Trimurti yang terdiri
dari Brahma, Wisnu dan Syiwa. Adapun kitab sucinya adalah Weda.
Sedangkan agama Budha muncul setelah agama Hindu. Awalnya
hanya sebagai suatu ajaran dalam rangka mencari kebenaran yang dilakukan
pertama kali oleh Sidharta. Sidharta adalah putra mahkota dari Kerajaan
Kapilawastu yang merupakan putra raja Sudhodana dan putri Maya, kemudian ia
mengemban menjadi cakyamuni (pendeta) sampai menerima wahyu yang berupa
kesadaran akan penderitaan dan cara menindas penderitaan tersebut. Dalam hal
ini Sidharta dianggap sebagai Budha Gautama. Budha sebagai suatu ajaran dapat
berkembang menjadi suatu agama dengan kitab sucinya Tripitaka (tiga keranjang)
yang menggunakan bahasa Pali bahasa rakyat Magadha. Untuk selanjutnya agama
Budha berkembang menjadi dua aliran yaitu aliran Mahayana (kendaraan besar) dan
aliran Hinayana (kendaraan kecil). Kemudian kedua agama yaitu Hindu-Budha
tersebut berkembang keberbagai negara di Asia Timur maupun Asia Tenggara
termasuk ke Indonesia yang akhirnya mempengaruhi kebudayaan Indonesia.
Proses Masuknya Agama Hindu dan Budha ke Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat
strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua
samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas
perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan Anda amati gambar peta
jaringan perdagangan laut Asia Tenggara berikut ini:
Gambar 1. Peta jalur
perdagangan laut Asia Tenggara.
Pada abad 1 Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati
jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak
langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu
Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan
dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India,
dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya
budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau
menyebarkan agama Hindu - Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara
pasti, walaupun demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya
agama Hindu - Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha
yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama
Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha
yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga
(Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat
ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India
Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca
perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Untuk penyiaran Agama Hindu ke Indonesia, terdapat
beberapa pendapat/hipotesa yaitu antara lain:
1. Hipotesis Waisya, diutarakan oleh Dr.N.J.Krom,
berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang
datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena
menikah dengan orang Indonesia.
2. Hipotesis Ksatria, diutarakan oleh Prof.Dr.Ir.J.L.Moens
berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria
atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di
India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke
Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.
3. Hipotesis Brahmana, diutarakan oleh J.C.Vanleur
berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum
Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti
isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan
Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama
Hindu ke Indonesia.
Pada dasarnya ketiga teori tersebut memiliki kelemahan
yaitu karena golongan ksatria dan waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta.
Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam
kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa Sansekerta
tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh menyebrangi laut.
Dari kebenaran maupun kelemahan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa, masuknya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana
yang tidak kolot atas undangan raja dan orang Indonesia yang belajar ke India. Dengan
adanya penyebaran agama Hindu tersebut maka mendorong orang-orang Indonesia untuk
menambah ilmunya mempelajari agama Hindu di India sekaligus berziarah ke tempat-tempat
suci. Dan sekembalinya dari India tersebut, maka orang-orang tersebut dapat menyebarkan
agama Hindu dengan bahasa mereka sendiri, dengan demikian agama Hindu lebih
cepat dan mudah tersebar di Indonesia.
KERAJAAN-KERAJAAN
INDONESIA YANG BERCORAK HINDU-BHUDA
1.
<.span>Kerajaan Kutai
2.
Kerajaan Tarumanegara
3.
Kerajaan Sriwijaya
4.
Kerajaan Mataram Kuno
5.
Kerajaan di Bali ( Singhamandawa dan Rajakula
Warmadewa )
6.
Kerajaan Sunda
7.
Kerajaan Kadiri
8.
Kerajaan Singosari
9.
Kerajaan Majapahit
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kerajaan
Kutai
Kutai adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia,
yang diperkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M, keberadaan kerajaan
tersebut diketahui berdasarkan sumber berita yang ditemukan yaitu berupa
prasasti yang berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah.
Gambar 2
. Salah satu Yupa dari Kutai
Tempat penemuan prasasti Yupa tersebut adalah daerah
Muarakaman tepi sungai Mahakam, Kalimantan Timur, sehingga oleh para ahli
kerajaan tersebut diberi nama Kutai, karena dalam prasasti tidak dijelaskan
nama kerajaan untuk itu diberi nama sesuai tempat penemuan prasasti tersebut.
Dari isi yang tertera dalam prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan
bahasa sansekerta tersebut, dapat disimpulkan tentang keberadaan kerajaan Kutai
dalam berbagai aspek kebudayaan yaitu antara lain politik, sosial, ekonomi, dan
budaya.
Gambar 5. adalah gambar patung Budha yang tingginya 2 meter berasal dari abad SM, dengan adanya gambar tersebut membuktikan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha.
Kehidupan ekonomi dan sosial budaya
Kehidupan
Sosial
Dalam kehidupan sosial. Perihal ini diketahui bahwa
terjalin hubungan yang harmonis/erat antara Raja Mulawarman dengan kaum
Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam prasasti Yupa, bahwa raja
Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di
dalam tanah yang suci bernama Waprakesmara. Waprakesmara adalah tempat
suci untuk memuja dewa Syiwa, yang kalau di pulau Jawa disebut dengan Baprakeswara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama yang dianut
Mulawarman adalah Hindu aliran Syiwa artinya dewa yang dipuja adalah Syiwa.
Kehidupan
Ekonomi
Sedangkan dalam kehidupan ekonomi. Hal ini tidak
dijelaskan secara pasti dalam prasasti, tetapi para ahli sejarah berpendapat
bahwa dengan adanya sedekah 20.000 ekor sapi membuktikan perekonomian Kutai
sudah kuat pada masa itu, yang didasarkan kepada pertanian, peternakan dan
perdagangan. Mata pencaharian tersebut di atas dimungkinkan karena raja
Mulawarman menghadiahkan kepada kaum Brahmana 20.000 ekor sapi. Ini dapat
dijadikan indikasi bahwa populasi ternak cukup besar pada waktu itu. Ia juga
menghadiahkan segunung minyak kental dengan lampu, seperti yang tertulis dalam
prasasti.
2. Kerajaan Tarumanagara
Bukti-bukti
adanya kerajaan Tarumanegara diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari
dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa 7 buah prasasti
batu yang ditemukan lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak
Banten.
a. Prasasti
Ciarunteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun,
dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa
dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris kalimat yang ditulis
dalam bentuk puisi India. Dan di samping itu juga terdapat lukisan laba-laba
serta sepasang telapak kaki Raja Mulawarman yang diibaratkan kaki
dewa Wisnu.
Gambar 3. Telapak
Kaki pada Prasasti Ciarunteun
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2
arti yaitu:
1. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja
atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
2. Di India, cap telapak kaki melambangkan
kekuasaan sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan
kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai
penguasa sekaligus pelindung rakyat.
b. Prasasti Jambu atau prasasti
Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30
km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa Sansekerta dan
huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji
pemerintahan raja Mulawarman.
c. Prasasti
Kebun Kopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang.
Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah,
yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airanata, yaitu gajah tunggangan
dewa Wisnu.
d. Prasasti Muara Cianteun, ditemukan di Bogor,
tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
e. Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiling,
juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
f. Prasasti Cidanghiang atau prasasti
Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang,
kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan
tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan
bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.
g. Prasasti Tugu di temukan di daerah
Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada
sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan
prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui
dari prasasti tersebut.
Gambar 4. Prasasti Tugu
Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
1. Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah
sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati.
Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari
para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi
(ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai
kali Bekasi.
2. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir
penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan
adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan
Pebruari dan April.
3. Prasasti Tugu yang menyebutkan
dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor
sapi yang dihadiahkan raja.
Sumber
dari Luar Negeri
Sedangkan
sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Cina antara lain:
1. Berita Fa-Hien, tahun 414 M dalam
bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit
dijumpai orang-orang yang beragama Budha, yang banyak adalah orang-orang yang
beragama Hindu dan sebagian masih animisme.
2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa
tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah
selatan.
3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan
bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa
istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan
Tarumanegara. Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya
maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara.
Kehidupan
Ekonomi
Kehidupan
perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah di samping utamakan bidang
pertanian, pelayaran dan perdagangan, juga perburuan dan perikanan mendapatkan
perhatian. Hal ini dapat dibuktikan melalui berita-berita tentang barang-barang
perdagangan dari kerajaan Tarumanegara. Barang-barang yang diperdagangkan
antara lain: cula badak, gading gajah dan kulit penyu. Barang tersebut
diperoleh dari usaha perburuan dan perikanan. Hal ini juga dapat diketahui dari
isi Prasasti Tugu yakni
tentang pembangunan atau penggalian Saluran Gomati yang panjangnya 6112 tombak
(12 km) dan selesai dikerjakan dalam waktu 21 hari. Selesai penggalian, Raja Purnawarman mengadakan selamatan
dengan memberikan hadiah 1.000 ekor sapi kepada para brahmana. Pembangunan itu
mempunyai arti ekonomis bagi rakyat karena dapat dipergunakan sebagai sarana
pengairan dan pencegahan banjir. Dengan demikian, rakyat akan hidup makmur,
aman dan sejahtera. Di samping Saluran Gomati, dalam Prasasti Tugu juga
disebutkan adanya penggalian Saluran Candrabhaga.
Kehidupan
Sosial
Dengan adanya kehidupan ekonomi yang kompleks tersebut,
maka kehidupan sosial masyarakatnya cukup baik, sehingga masing-masing golongan
masyarakat yang ada pada masa itu dapat saling bekerja sama dan tercipta jalinan
kehidupan yang baik.
1. Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya adalah nama kerajaan yang tentu sudah tidak
asing bagi Anda, karena Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar
di Indonesia bahkan di Asia Tenggara pada waktu itu (abad 7 - 13 M). Jika Anda
ingin mengetahui perkembangan Sriwijaya hingga mencapai puncak kebesarannya
sebagai kerajaan Maritim, maka Anda harus mengetahui terlebih dahulu
sumber-sumber sejarah yang membuktikan keberadaan kerajaan tersebut.
Sumber-sumber sejarah kerajaan Sriwijaya selain berasal dari dalam juga berasal
dari luar seperti dari Cina, India bahkan Arab.
Sumber-sumber
dari dalam negeri
Sumber dari dalam negeri berupa prasasti yang berjumlah 6
buah yang menggunakan bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa, serta telah menggunakan
angka tahun Saka. Untuk mengetahui keberadaan prasasti tersebut, simaklah
uraian materi berikut ini!
a. Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di
Kedukan Bukit, di tepi sungai Tatang dekat Palembang, berangka tahun 606
Saka. Isi prasasti tersebut menceritakan perjalanan suci/Sidayatra yang
dilakukan Dapunta Hyang, berangkat dari Minangatamwan dengan
membawa tentara sebanyak 20.000 orang. Dari perjalanan tersebut berhasil
menaklukkan beberapa daerah.
b. Prasasti Talang Tuo ditemukan di
sebelah barat kota Palembang berangka tahun 606 Saka. Prasasti ini
menceritakan pembuatan Taman Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk dan
terdapat doa-doa yang bersifat Budha Mahayana.
c. Prasasti
Telaga Batu ditemukan di Telaga Batu dekat Palembang tidak berangka
tahun.
d. Prasasti Kota Kapur ditemukan di kota
Kapur pulau Bangka berangka tahun 608 Saka.
e. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi
Hulu berangka tahun 608 Saka.
f. Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Lampung
Selatan tidak berangka tahun.
Keempat Prasasti yang disebut terakhir yaitu Prasasti
Telaga Batu, Kota Kapur, Karang bukit, dan Palas Pasemah menjelaskan isi yang
sama yaitu berupa kutukan terhadap siapa saja yang tidak tunduk kepada raja
Sriwijaya.
Sumber-sumber
prasasti
Sumber yang berupa prasasti ditemukan di Semenanjung
Melayu berangka tahun 775 M yang menjelaskan tentang pendirian sebuah pangkalan
di semenanjung melayu, daerah Ligor. Untuk itu prasasti tersebut, diberi
nama Prasasti Ligor. Prasasti berikutnya ditemukan di India di kota
Nalanda yang berasal dari abad ke 9 M. Prasasti tersebut menjelaskan pendirian
Wihara oleh Balaputradewa raja Sriwijaya.
Sumber
Berita Asing
Di samping prasasti-prasasti, keberadaan Sriwijaya juga
diperkuat dengan adanya beritaberita Cina maupun berita Arab. Berita Cina,
diperoleh dari I-Tshing seorang pendeta Cina yang sering datang ke
Sriwijaya sejak tahun 672 M, yang menceritakan bahwa di Sriwijaya terdapat 1000
orang pendeta yang menguasai agama seperti di India dan di samping itu juga,
berita dari dinasti Sung yang menceritakan tentang pengiriman utusan
dari Sriwijaya tahun 971 - 992 M. Nama kerajaan Sriwijaya dalam berita Cina
tersebut, disebut dengan Shih-lo-fo-shih atau Fo-shih, sedangkan
dari berita Arab Sriwijaya disebut dengan Zabag/Zabay atau dengan sebutan
Sribuza. Dari berita-berita Arab dijelaskan tentang kekuasaan dan kebesaran
serta kekayaan Sriwijaya.
Kehidupan
Ekonomi
Kerajaan Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur
pelayaran dan perdagangan Internasional Asia Tenggara. Dengan letak yang strategis
tersebut maka Sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi pelabuhan
Transito sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar. Dengan
demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan sangat baik hal ini juga didukung
oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa, Sriwijaya
memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di jalur-jalur pelayaran
yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari luar yang singgah dan
berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut. Dengan adanya
pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan Sriwijaya meningkat
dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti, pajak maupun keuntungan
dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan
yang besar dan makmur.
Kehidupan
Sosial
Faktor lain yang menjadikan Sriwijaya menjadi kerajaan
besar adalah kehidupan sosial masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama
dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat
pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan
berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta
yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti.
Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan
ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan
di bidang pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil
perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja
Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat. Sebagai
penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya
(seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan
kemakmuran rakyatnya.
Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat
Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh
kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang
dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau
patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung
Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).
Gambar 5. adalah gambar patung Budha yang tingginya 2 meter berasal dari abad SM, dengan adanya gambar tersebut membuktikan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha.
Kebesaran dan kejayaan Sriwijaya ternyata banyak
mengundang kerajaan lain menjadi tidak senang dan menyerang Sriwijaya sehingga
mengalami kemunduran dan keruntuhan akibat serangan dari kerajaan lain.
-
Serangan pertama dari Raja Dharmawangsa dari
Medang, Jatim tahun 990 M. Pada waktu itu raja Sriwijaya adalah Sri
Sudarmaniwarnadewa. Walaupun serangan tersebut gagal tetapi dapat
melemahkan Sriwijaya.
-
Serangan berikutnya datang dari kerajaan Colamandele
(India Selatan) yang terjadi pada masa pemerintahan Sri
Sangramawijayatunggawarman pada tahun 1023 dan diulang lagi tahun 1030 dan
raja Sriwijaya ditawan.
-
Tahun 1068 Raja Wirarajendra dariColamandele
kembali menyerang Sriwijaya tetapi Sriwijaya tidak runtuh bahkan pada abad
13 Sriwijaya diberitakan muncul kembali dan cukup kuat sesuai dengan berita
Cina.
-
Keruntuhan Sriwijaya terjadi pada tahun 1477
ketika Majapahit mengirimkan tentaranya untuk menaklukan Sumatra
termasuk Sriwijaya.
2. Kerajaan Mataram
Kuno
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi
Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram dikelilingi
oleh banyak pegunungan dan di tengahnya banyak mengalir sungai besar
diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. Keadaan
tanahnya subur sehingga pertumbuhan penduduknya cukup maju.
Sumber-sumber
Prasasti
Mengenai bukti yang menjadi sumber sejarah berlangsungnya
kerajaan Mataram dapat diketahui melalui prasasti-prasasti dan bangunan
candi-candi yang dapat Anda ketahui sampai sekarang. Prasasti-prasasti yang
menjelaskan tentang keberadaan kerajaan Mataram tersebut yaitu
antara
lain:
a. Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi
Gunung Wukir di desa Canggal berangka tahun 723 M dalam bentuk Candrasagkele.
Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan
tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh
Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja
mula-mula Sanne kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha
(saudara perempuan Sanne).
b. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan
Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India
Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan
suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas
permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan
untuk para Sanggha (umat Budha).
c. Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih
Kedu, Jateng berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi
dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului
Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai
Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi,
Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu
prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.
d. Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan
berangka tahun 782 M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta
isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang
bergelar Sri Sanggramadananjaya. Menurut para ahli bahwa yang dimaksud
dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di Komplek
Prambanan dan nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti
Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.
Sumber
berupa Candi
Selain prasasti yang menjadi sumber sejarah adanya
kerajaan Mataram juga banyak bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, yang manjadi
bukti peninggalan kerajaan Mataram yaitu seperti Candi pegunungan Dieng,
Candi Gedung Songo, yang terletak di Jawa Tengah Utara. Selanjutnya di
Jawa Tengah bagian selatan juga banyak ditemukan candi antara lain Candi
Borobudur, Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sambi
Sari,
dan
masih banyak candi-candi yang lain.
Kehidupan
Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh dua dinasti atau wangsa
yaitu wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan wangsa Syaelendra yang
beragama Budha. Pada awalnya mungkin yang berkuasa adalah wangsa Sanjaya, hal
ini sesuai dengan prasasti Canggal. Tetapi setelah perkembangan
berikutnya muncul keluarga Syaelendra. Menurut para ahli, keluarga Sanjaya
terdesak oleh Keluarga Syaelendra, tetapi mengenai pergeseran kekuasaan
tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas kedua-duanya sama-sama
berkuasa di Jawa Tengah dan memiliki hubungan yang erat, hal ini sesuai dengan prasasti
Kalasan. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syaelendra seperti yang
tertera dalam prasasti Ligor, Nalanda maupun Klurak adalah Bhanu, Wisnu,
Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan
raja-raja dari dinasti Sanjaya yang tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan
candi-candi peninggalan kerajaan Mataram yang berasal dari abad 8-9 yang
bercorak Hindu yang terletak di Jateng bagian utara dan yang bercorak Budha terletak
di Jateng selatan , untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti Sanjaya
di Jateng bagian utara, dan kekuasaan dinasti Syaelendra di Jateng selatan. Kedua
dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan Rakai Pikatan
dengan Pramudyawardani yang bergelar Sri Kahulunan. Pramudyawardani tersebut
adalah putri dari Samaratungga. Raja Samaratungga selain mempunyai putri
Pramudyawardani , juga mempunyai putera yaitu Balaputradewa (karena
Samaratungga menikah dengan keturunan raja Sriwijaya). Kegagalan Balaputradewa
merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, maka menyingkir ke Sumatera
menjadi raja Sriwijaya. Untuk selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram
dikuasai oleh dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terakhir yaitu Wawa. Pada
masa pemerintahan Wawa sekitar abad 10, Mataram di Jateng mengalami kemunduran
dan pusat penerintahan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sendok. Dengan adanya
perpindahan kekuasaan dari Jateng ke Jatim oleh Mpu Sendok, maka Mpu
Sendok mendirikan dinasti baru yaitu dinasti Isyana dengan kerajaannya
adalah Medang Mataram. Berdasarkan prasasti Calcuta, maka silsilah
raja-raja yang memerintah di kerajaan Medang Mataram dapat diketahui. Untuk
mengetahui silsilah tersebut, simaklah bagan berikut ini!
Dari bagan silsilah raja-raja Medang di atas, maka yang
diberi tanda itulah raja-raja yang memerintah. Pada tahun 1017 M kerajaan
Medang pada masa Dharmawangsa mengalami pralaya/kehancuran akibat
serangan dari Wurawari dan yang berhasil meloloskan diri dari serangan
tersebut adalah Airlangga. Tahun 1023 Airlangga dinobatkan oleh pendeta
Budha dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja Medang menggantikan
Dharmawangsa. Pada awal pemerintahannya Airlangga berusaha menyatukan kembali
daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, dan melakukan pembangunan
di dalam negeri dengan memindahkan ibukota kerajaan Medang dari Wutan Mas ke
Kahuripan tahun 1031, serta memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh,
dan membangun bendungan Wringin Sapta. Dengan demikian usaha-usaha yang
dilakukan oleh Airlangga mendatangkan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Tetapi kemudian tahun 1041 Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan
untuk membagi kekuasaan menjadi 2 kerajaan. Kedua kerajaan tersebut adalah
Jenggala dan Panjalu. Pada awalnya pembagian kerajaan tersebut dalam rangka
menghindari perebutan kekuasaan diantara putera-putera Airlangga. Tetapi
ternyata hal ini yang menjadi penyebab kerajaan Medang mengalami kehancuran.
Kehidupan
Ekonomi
Berdasarkan bangunan candi yang ada, baik yang bercorak
Hindu maupun Budha jumlah cukup banyak dan tempat atau lokasinyapun ada yang
berdampingan, maka hal ini membuktikan bahwa kehidupan sosial masyarakat Mataram
sangat religius dan dilandasi oleh rasa gotong royong yang baik, dan juga
mempunyai rasa toleransi antara pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Budha itu
sendiri. Dalam lapangan ekonomi, kerajaan Mataram mengembangkan perekonomian
agraris karena letaknya di pedalaman dan daerah yang subur tetapi pada
perkembangan berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan pelayaran, hal
ini terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang memanfaatkan sungai Bengawan
Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju pantai utara Jawa Timur. Dengan
adanya pengembangan perekonomian, maka timbul dugaan bahwa dipindahkannya dari
Jawa Tengah ke Jawa Timur karena alasan tersebut.
3. Kerajaan di Bali (
Singhamandawa dan Rajakula Warmadewa )
Kehidupan ekonomi dan
sosial budaya
1. Mata pencaharian
Dari beberapa
prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuna dapat diketahui mengenai
kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Bali kuna. Umumnya penduduk pulau
Bali sejak zaman dahulu hidup terutama dari bercocok tanam. Dalam prasasti
Songan Tambahan salah sebuah prasasti dari raja Marakata ada
disebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan cara mengolah sawah dan
menanam padi yaitu : amabaki, atanem, amantum, ahani, anutu. Proses penanaman
padi pada waktu itu disebut sebagai berikut, yaitu dimulai dengan mbakaki
(pembukaan tanah), kemudian mluku (membajak tanah), tanem (menanam padi),
mantum (menyiangi padi), ahani (menuai padi) dan nutu (menumbuk Padi).
Dari keterangan di
atas jelaslah bahwa pada masa pemerintahan Raja Marakata, bahkan mungkin pula
pada masa sebelumnya, pertanian khususnya pengolahan tanah di Bali telah maju.
Hidup berkebun juga telah umum pada masa itu. Macam-macam tanaman yang
merupakan hasil perkebunan antara lain adalah nyu (kepala), kelapa kering
(kopra), hano (enau), kamiri (kemiri), kapulaga, kasumbha (kesumba), tals
(ales, keladi), bawang bang (bawang merah), pipakan (jahe), mula phala (wartel
dan umbi-umbian lainnya), pucang (pinang), durryan (durian), jeruk, hartak
(kacang hijau), lunak atau camalagi (asam), cabya (nurica), pisang atau byu,
sarwaphala (buah-buahan), sarwa wija atau sarwabija (padi-padian), kapas, kapir
(kapuk randu), damar (damar).
2. Pendidikan
Karena terbatasnya
sumber mengenai keadaan pendidikan pada zaman Bali kuno maka untuk mengetahuinya
akan dicoba menelusuri dari segi kehidupan masyarakat pada masa itu. Mengingat
bahwa pada masa itu telah dikenal keahlian-keahlian khusus seperti : pande,
undagi, pemahat, pemotong dan lain sebagainya, maka tentunya keahlian tersebut
didapat dengan cara belajar.
Proses belajar dan
mengajar antara seorang guru dengan muridnya dilakukan pula di asrama-asrama
pendeta yang telah banyak ada pada zaman Bali kuno. Dalam prasasti-prasasti ada
disebutkan nama-nama antara lain, prasasti Tengkulak A menyebutkan :
Sang Hyang mandala ring Amarawati. Prasasti Tengkulak E menyebutkan : Amarawati-Acarama,
prasasti Tengkulak C menyebutkan : Katyagan i hani Songan Tambahan. Salah satu
asrama yang paling terkenal pada zaman Bali kuna ialah Asrama Amarawati,
yang menurut pendapat R. Goris yang dimaksud adalah kompleks Candi Gunung Kawi
sekarang. Hasil-hasil kesusastraan yang diciptakan di Bali baru mulai
bermunculan pada waktu pemerintahan Dalem Waturenggong (1460 - 1550).
Lebih-lebih setelah perpustakaan Majapahit dibawa ke Bali. Pada zaman itulah
datang ke Bali Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wau Rauh) yang
menciptakan banyak kitab-kitab kesusastraan. Ketika itulah kesusastraan Bali
mengalami zaman keemasannya. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong inilah
disusun bermacam-macam lontar tentang ke Tuhanan, sesana (kesusilaan), wariga
(ilmu perbintangan), usada (pengobatan), babad (sejarah), itihasa (parwa, geguritan)
dan lain sebagainya.
3. Kesusastraan
Untuk mengetahui
mengenai keadaan dan perkembangan kesusastraan pada zaman Bali kuno, maka perlu
mengetahui hubungan sejarah dan kekeluargaan antara Bali dan Jawa Timur pada
masa itu. Hasil-hasil kesusastraan yang diciptakan di Bali baru mulai
bermunculan pada waktu pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Lebih-lebih
setelah pustakaan Majapahit banyak dibawa ke Bali. Pada zaman itulah datang ke
Bali Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wau Rauh) yang mengarang banyak
kitab-kitab kesusastraan.
4. Kesenian
Dalam pandangan
masyarakat pada umumnya, pengertian kesenian (seni) sering disamakan begitu
saja dan malah sering dikacaukan dengan keindahan. Kita sering pula berpendapat
bahwa semua yang indah itu bernilai seni. Jadi pengertian kesenian dan
keindahan berbauran saja tanpa ada pembatasannya. Sebenarnya tidak semua yang
indah itu bernilai seni, sebab ada keindahan yang merupakan atau yang tidak
termasuk karya seni, atau sebaliknya tidak semua kesenian (karya seni) itu
indah. Secara garis besarnya hasil kegiatan estetika manusia itu meliputi tiga
kegiatan seni antara lain:
a.
Kenyataan lahiriah (kesenian/karya seni).
b.
Aktivitas (tindakan yang memungkinkan
lahirnya karya seni).
c.
Perasaan yang bersangkutan dengan karya seni.
Macam-macam
Karya Seni (Kesenian)
Kesenian atau
keindahan seni dalam arti luas meliputi seni sastra, seni bangunan, seni arca,
seni tari, seni suara/vokal, seni tabuh dan berbagai jenis kesenian yang
dipentaskan. Dari pembacaan teks prasasti-prasasti yang telah ditemukan sampai
saat ini dapat diketahui bahwa pada zaman Bali kuno telah hidup beberapa cabang
kesenian seperti seni tari, seni tabuh, seni suara/vokal, lawak, dan beberapa
jenis seni tontonan lainnya. Tetapi nama-nama kesenian atau tontonan yang
disebutkan didalam prasasti-prasasti tidaklah seluruhnya dapat kita
identifikasikan dengan cabang-cabang kesenian atau tontonan yang masih hidup
sampai dewasa ini. Nama-nama cabang kesenian yang paling banyak diketahui ialah
dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu.
Seni Pahat
dan Seni Lukis
Selanjutnya
kesenian lainnya yang dikenal ialah semacam kesenian yang disebut Culpika
dan Citakara. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia istilah-istilah
tersebut berarti : pemahat patung untuk istilah Culpika dan pelukis untuk
istilah Citrakara. Istilah-istilah tersebut memberikan suatu gambaran bahwa
pada masyarakat Bali kuno sudah ada orang mempunyai keahlian di bidang seni
pahat dan seni lukis. Hanya saja data-data mengenai hal ini tidak banyak kita
temukan dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti pada umumnya. Hanya
beberapa prasasti yang memuat tentang seni tersebut.
Seni bangunan
Prasasti-prasasti cukup banyak menyebutkan nama-nama
bangunan khususnya bangunan suci keagamaan, disamping itu juga bangunan suci
sebagai pedharman seorang raja atau pejabat tinggi kerajaan atau juga seorang
permaisuri kerajaan. Tetapi sayang banyak tempat yang disebutkan dalam prasasti
sebagai tempat lumah (wafat) seorang raja atau permaisuri raja belum diketahui
lokasinya hingga sekarang. Selain jenis bangunan tersebut, juga ditemukan jenis
bangunan yang disebut wihara atau pertapaan. Semua jenis bangunan yang
merupakan peninggalan dari zaman kuno itu beberapa diantaranya masih dapat
ditemukan sampai saat ini antara lain : Prasada di Pura Magening
(Tampaksiring), kompleks percandian Gunung Kawi, Goa Gajah,
Wihara-wihara/pertapaan-pertapaan di sepanjang sungai Pakerisan dan Kerobokan
dan lain sebagainya. Dari bangunan-bangunan tersebut dapat diketahui bahwa ada
unsur keindahan yang mewarnai gaya bangunan atau arsitektur. Seni bangunan atau
arsitektur yang terlihat pada bangunan-bangunan meliputi : bentuk bangunan,
tata letak dan penentuan atau pemilihan lokasi. Aspek-aspek arsitektur ini
kemudian sangat menentukan rasa puas atau tidaknya si pemilik bangunan baik
lahir maupun bathin.
4. Kerajaan Sunda
Menurut
Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri,
Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri
Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya
selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari
Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya
perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa,
yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal,
kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan
penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara,
serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan
melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke
Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung
dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan
Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda
pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18
Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu
sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Sumber-sumber
Prasasti
1. Prasasti
Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam
aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti
ini terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini
adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan
pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat
bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena
tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan
Tarumanagara (358-669 AD ).
2. Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40
baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai
Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa
Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta,
dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada
hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir.
Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang
diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini
dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Sumber
Berita Asing
1. Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada
sumber-sumber berita Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti
Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Chan Ju-kua
mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi
negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Chu-fan-chi, yang
ditulis dalam tahun 1178-1225 Masehi, menyebutkan pelabuhan air di Sin-t'o
(Sunda). Chu-fan-chi melaporkan bahwa: Orang-oarang tinggal di sepanjang
pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka
dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon
kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan
rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain
katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang
tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi
kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu,
tebu, telur kacang dan tanaman.
Buku berbahasa Cina
"shun-feng hsiang-sung" dari sekitar 1430 AD mengatakan: Dalam
perjalanan ke arah timur dari Sunda, sepanjang pantai utara Jawa, kapal
dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka
kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan
187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan
ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu,
melewati Cirebon.
2. Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya
menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu
penjelajah itu adalah Tome Pires dari Portugal. Dalam laporannya "Summa
Oriental (1513 - 1515)" ia menulis bahwa: Beberapa orang menegaskan bahwa
kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan
bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah
seperdelapannya.
Kehidupan ekonomi dan sosial budaya
Berdasarkan berita
yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan
Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut,
ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain: lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik. Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindahpindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah. Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.
ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain: lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik. Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindahpindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah. Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.
5. Kerajaan Kadiri
Pada tahun 1041 atau 963 C. Raja Airlangga memerintahkan
membagi
kerajaan
menjadi dua bagian. Pembagian jerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana
yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan
tersebut dikenal dengan sebutan Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung
Kawi dan sungai Brantas. Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta
sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibukotanya
Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kadiri
meliputi Kediri, Madiun, dan ibukotanya Daha. Berdasarkan
prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak
atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan. Pada awalnya
perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan
selanjutnya Panjalu/Kadiri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh
tahta Airlangga.
Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kadiri
dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya
prasasti-prasasti juga melalui kitabkitab sastra.
Sumber-sumber
Prasasti
Prasasti-prasasti menjelaskan kerajaan Kadiri antara lain
yaitu:
a. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M
menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala.
b. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M
menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
Selain dari prasasti-prasasti tersebut di atas,
sebenarnya ada lagi prasasti-prasasti yang lain tetapi tidak begitu jelas. Dan
yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kadiri adalah hasil karya berupa kitab
sastra karena pada masa Kadiri kesusastraan berkembang dengan pesat. Salah satu
hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayuda dengan
ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1156 M yang menceritakan
tentang kemenangan Kadiri/Panjalu atas Jenggala. Di samping kitab sastra maupun
prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan
gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kadiri yang tidak
ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab
yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun
1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.
Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun
kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kadiri dalam berbagai
aspek kehidupan dapat diketahui.
Kehidupan
Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian
Kadiri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kadiri
terkenal sebagai penghasil beras, menanam kapas dan memelihara ulat sutra.
Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan
Kadiri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan
penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil
bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan
kitab Ling-wai-tai-ta.
Kehidupan
Sosial
Bahkan berdasarkan kedua kitab tersebut diceritakan bahwa
kehidupan sosial masyarakat Kadiri cukup baik karena kesejahteraan rakyat
meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya
yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau
serta orang-orang Kadiri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan
kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara
lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya
hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang. Hasil sastra tersebut,
selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih
banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Kariwangsa dan Gatotkacasraya
yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana
karya Mpu Darmeja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu
Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab
Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa
pemerintahan Kameswara.
6. Kerajaan Singosari
Keberadaan kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi
yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai
Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang
berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan
tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang
juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton
isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah
asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja,
Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan
Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri
Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari
kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya
terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan
alasan tersebut, maka tahun 1222 M/1144 C Ken Arok menyerang Kadiri,
sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter.
Dengan kemenangannya maka Ken Arok dapat menguasai seluruh kekuasaan
kerajaan Kadiri dan menyatakan dirinya sebagai raja Singosari dengan
gelar Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwawabhumi. Sebagai
raja pertama Singosari maka Ken Arok menandai munculnya dinasti baru yaitu
dinasti Rajasa atau dinasti Girindra untuk menambah pemahaman Anda
tentang keturunan dinasti Rajasa, maka simaklah silsilah berikut ini:
Dengan memperhatikan silsilah tersebut di atas, maka yang
perlu Anda ketahui bahwa nama yang diberi nomor dan diberi kotak/dalam kotak
itulah urutan raja-raja Singosari. Raja pertama sampai ketiga yang diberi tanda
(*) mati dibunuh karena persoalan perebutan tahta dan balas dendam. Dari kelima
raja Singosari tersebut, raja Kertanegaralah yang paling terkenal,
karena dibawah pemerintahan Kertanegara Singosari mencapai puncak kebesarannya.
Kertanegara bergelar Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara mempunyai
gagasan politik untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Gambar 6. Peta kekuasaan
Singosari
Setelah Anda menyimak gambar peta kekuasaan Singasari
tersebut, yang perlu Anda ketahui bahwa kekuasaan tersebut dapat dicapai oleh
Kertanegara karena tindakan politiknya yaitu seperti:
a. Membangun Singasari menjadi pusat pemerintahan
dan berusaha menyingkirkan lawan-lawan politiknya seperti Kebo Arem (Raganatha)
dijadikan adhyaksa di Tumapel, Arya Wiraraja (Banyak
Wide) dijadikan Bupati Madura.
b. Menumpas pemberontakan Mahisa Rangkah.
c. Menyatukan agama Syiwa dan Budha menjadi
agama Tantrayana (Syiwa Budha). Agama ini dipimpin oleh Dharma
Dyaksa.
d. Melakukan politik perkawinan yaitu mengawinkan
salah satu putrinya dengan R. Wijaya dan putri yang lain dengan Ardharaja
putra Jayakatwang dari Kediri dalam rangka memperkuat kedudukannya
sebagai raja Singasari. Dan mengawinkan saudaranya dengan raja Campa yaitu
raja Jaya Singhawarman IV dalam rangka mencari
persekutuan/aliansi dengan kerajaan Campa.
e. Mengirimkan ekspedisi ke luar pulau Jawa
antara lain ekspedisi ke Malayu/ Pamalayu tahun 1275 untuk menjalin
persahabatan dengan kerajaan Malayu dan ekspansi ke Bali tahun 1284
karena Bali tidak mau tunduk kepada Singasari.
Dari tindakan-tindakan politik Kertanegara tersebut,
mungkin di satu sisi Kertanegara berhasil mencapai cita-citanya memperluas dan
memperkuat Singasari, tetapi dari sisi yang lain muncul beberapa ancaman yang
justru berakibat hancurnya Singasari. Ancaman yang muncul dari luar yaitu dari
tentara Kubilai-Khan dari Cina Mongol karena Kertanegara tidak mau
mengakui kekuasaannya bahkan menghina utusan Kubilai-khan yaitu Meng-chi yang
dibuat cacat mukanya. Sedangkan ancaman yang lain dari dalam yaitu adanya
serangan dari Jayakatwang dari Kadiri tahun 1292 yang bekerja
sama dengan Arya Wiraraja Bupati Sumenep yang tidak diduga sebelumnya.
Sehingga Kertanegara terbunuh, maka jatuhlah Singasari di bawah kekuasaan
Jayakatwang dari Kediri. Setelah Kertanegara meninggal maka didharmakan/diberi
penghargaan di candi Jawi sebagai Syiwa Budha, di candi Singasari sebagai
Bhairawa. Di Sagala sebagai Jina
(Wairocana)
bersama permaisurinya Bajradewi.
Gambar 7. Candi Singosari
Dalam kitab Pararaton maupun Negara Kertagama diceritakan
bahwa kehidupan sosial masyarakat Singosari cukup baik karena rakyat terbiasa
hidup aman dan tenteram sejak pemerintahan Ken Arok bahkan dari raja sampai
rakyatnya terbiasa dengan kehidupan religius. Kehidupan religius tersebut
dibuktikan dengan berkembangnya ajaran agama baru yaitu ajaran Tantrayana (Syiwa
Budha) dengan kitab sucinya Tantra. Ajaran Tantrayana berkembang dengan
baik sejak pemerintahan Wisnuwardhana dan mencapai puncaknya pada masa
Kertanegara, bahkan pada akhir pemirintahan Kertanegara ketika diserang oleh
Jayakatwang, sedang melaksanakan upacara Tantrayana bersama Mahamantri dan
pendeta terkenal.
Kehidupan
Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi, walaupun tidak ditemukan sumber
yang secara jelas tetapi sangat memungkinkan bahwa ekonomi Singosari ditekankan
pada kehidupan pertanian dan perdagangan serta pelayaran. Perkembangan tersebut
sangat dimungkinkan karena Singosari merupakan daerah yang subur dan dapat
memanfaatkan sungai Brantas dan Bengawan Solo sebagai sarana lalu lintas
perdagangan dan pelayaran.
Kehidupan
Budaya
Dalam kehidupan budaya, Singosari sangat berkembang
karena Singosari banyak meninggalkan bangunan monumental atau budaya lain yang
berhubungan dengan agama yaitu seperti candi Kedal, candi Jago, candi Singosari
dan patung Joko Dolok yang merupakan perwujudan Kertanegara yang terletak di
simpang tiga Surabaya, Jatim.
7. Kerajaan Majapahit
Nama kerajaan Majapahit tentu bukanlah sesuatu yang asing
bagi Anda, karena Majapahit adalah salah satu kerajaan Hindu yang terbesar di
Indonesia.
Sumber-sumber
Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang menjelaskan tentang kerajaan
Majapahit sebagian besar berupa kitab sastra yaitu seperti:
a. Kitab Pararaton, selain menceritakan
tentang raja-raja Singosari juga menjelaskan tentang raja-raja Majapahit.
b. Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu
Prapanca pada tahun 1365 menjelaskan tentang keadaan kota Majapahit, daerah
Jajahannya dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah kekuasaannya.
c. Kitab Sundayana menjelaskan tentang
perang Babat.
d. Kitab Usaha Jawa menjelaskan tentang
penaklukan pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar.
Di samping sumber sejarah di atas, sumber sejarah
peninggalan Majapahit juga berupa seni bangunan seperti candi, pinti gerbang,
pemandian atau pertirtaan serta kota Trowulan, bekas ibukota Majapahit yang
terletak di kota Mojokerto Jawa Timur. Sedangkan sumber dari luar negeri yang
membuktikan kerajaan Majapahit diperoleh dari berita-berita Cina yaitu seperti
berita yang ditulis pada masa dinasti Ming (1368-1643) dan berita dari Ma-Huan
dalam bukunya Ying Yai menceritakan tentang keadaan masyarakat dan kota
Majapahit tahun 1418 serta berita dari Portugis tahun 1518.
Dari sumber-sumber tersebut di atas, dapat diketahui
pemerintahan raja-raja Majapahit, kehidupan sosial, ekonomi, serta peninggalan
budaya-budaya Majapahit.
Berdirinya kerajaan Majapahit adalah berkat usaha dan
perjuangan Raden Wijaya dengan memanfaatkan kedatangan tentara Cina Mongol
(Kubilai Khan) yang datang ke Pulau Jawa untuk menghukum Kertanegara. Dengan
kedatangan pasukan Kubilai Khan, maka dimanfaatkan untuk menyerang Jayakatwang
di Kadiri, sehingga kekalahan Kertanegara dapat terbalaskan karena Jayakatwang
akhirnya meninggal di Ujung Galuh. Sedangkan pasukan Kubilai Khan melalui tipu
muslihat Raden Wijaya dapat diusir dari pulau Jawa tahun 1293. Setelah berhasil
mengusir pasukan Kubilai Khan, maka tahun 1293 Raden Wijaya dinobatkan menjadi
raja pertama Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawisnuwardhana.
SILSILAH RAJA-RAJA MAJAPAHIT
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang kuat, maka
Raden Wijaya melakukan berbagai tindakan yaitu seperti melanjutkan pembangunan
Majapahit sebagai pusat pemerintahan, mengawini keempat putri Kertanegara dan
membalas jasa dengan memberikan kekuasaan kepada para sahabat dan pengikutnya.
Walaupun demikian diantara para pengikutnya ada yang tidak puas dan akhirnya
menjadi benih pemberontakan di Majapahit. Pemberontakan tersebut muncul pada masa
pemerintahan Jayanegara (Kala Geret), karena Jayanegara adalah
raja yang lemah. Diantara pemberontakan tersebut yang paling berbahaya adalah pemberontakan
Kuti tahun 1319 tetapi akhirnya dapat dipadamkan oleh pasukan
Bhayangkari yang dipimpin Gajah Mada. Atas jasanya Gajah Mada menjadi patih
Kahuripan tahun 1319 dan selanjutnya tahun 1321 diangkat menjadi patih
Daha.
Pemberontakan terhadap Majapahit tetap muncul, pada masa
pemerintahan Tribuana Tungga Dewi yaitu seperti pemberontakan
Sadeng dan Keta di daerah Besuki tahun 1331. Dan pemberontakan tersebut juga
berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Atas jasa tersebut maka Gajah Mada
diangkat menjadi Mahapatih Majapahit tahun 1333. Dengan adanya Sumpah Amukti
Palapa, maka Gajah Mada bercita-cita mempersatukan wilayah Nusantara di
bawah kekuasaan Majapahit. Sehingga untuk mewujudkan sumpah tersebut, pasukan
Majapahit yang dipimpin Gajah Mada dan dibantu oleh Adityawarman
melakukan politik ekspansi/penyerangan keberbagai daerah dan berhasil. Atas
jasanya Adityawarman diangkat menjadi Raja Melayu tahun 1347 untuk
menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatera.
Pada tahun 1350, Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk.
Ia bergelar Rajasanegara dan dalam menjalankan pemerintahan yang
didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Adityawarman dan Mpu
Nala sehingga pada masa tersebut Majapahit mencapai puncak kebesarannya,
karena daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Nusantara dan Majapahit
berkembang sebagai kerajaan Maritim sekaligus kerajaan Agraris.
Gambar 8. Peta kekuasaan
Majapahit
Setelah Anda menyimak gambar 2.13 tersebut, tentu dalam
pikiran Anda terlintas bahwa Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Memang
benar apa yang dicita-citakan oleh Gaja Mada melalui sumpahnya dapat terlaksana
kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya. Dalam rangka
menguasai Pajajaran tersebut, maka Gajah Mada melakukan Politik perkawinan
yang berakibat terjadinya peristiwa Babat tahun 1357. Perang babat
tersebut tentu sudah pernah Anda ketahui untuk itu silahkan Anda ceritakan
kembali perang Babat tersebut menurut versi Anda. Selanjutnya cerita Anda
ditulis pada selembar kertas dan kumpulkan pada Guru bina Anda. Wilayah
kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan
Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit. Untuk itu dalam rangka
menjaga keamanan dan memelihara kesatuan daerah kekuasaannya maka Majapahit memperkuat
armada lautnya di bawah pimpinan Mpu Nala. Dan juga berusaha menjalin
persahabatan dengan negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata
yang berarti sahabat atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara
damai. Tahun 1364 Gajah Mada meninggal. Sehingga Majapahit mengalami
kesulitan mencari penggantinya. Baru tiga tahun kemudian digantikan oleh Gajah
Enggon. Meninggalnya Gajah Mada sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Hayam
Wuruk, sehingga pemerintahan Hayam Wuruk mengalami kemunduran. Hayam Wuruk
meninggal tahun 1389. Selanjutnya tahta Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana.
Pada masa pemerintahan Wikramawardhana (tahun 1389 - 1429) kehidupan politik
Majapahit diwarnai oleh Perang Paregreg atau perang saudara antara Wikramawardhana
dengan Bhre Wirabumi. Perang Paregreg terus berkelanjutan
menyebabkan bintang Majapahit semakin pudar, sehingga banyak daerah-daeah kekuasaannya
yang melepaskan diri. Hal ini ditambah dengan adanya penyebaran Islam yang
berpusat di Malaka serta munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang
menentang Majapahit maka keruntuhan Majapahit diambang pintu.
Mengenai runtuhnya Majapahit ada beberapa pendapat yaitu:
1. Majapahit runtuh tahun 1478, ketika Girindrawardhana
memisahkan diri dari Majapahit dan menamakan dirinya sebagai raja
Wilwatikta Daha Janggale Kadiri. Tahun peristiwa tersebut di tulis dalam Candrasangkale
yang berbunyi “Hilang sirna kertaning bhumi”. Anda masih
ingat arti kalimat tersebut? Apabila Anda lupa buka kembali kegiatan belajar 1
modul ini.
2. Pendapat lain menjelaskan Majapahit runtuh
karena diserang oleh Demak yang dipimpin oleh Adipati Unus tahun
1522.
Kehidupan
Sosial
Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara kehidupan
sosial masyarakat Majapahit umumnya baik, kerajaan memperhatikan kepentingan
rakyat, keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan
ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja
membentuk dewan khusus yaitu Dharmadjaksa ring kasaewan yang
mengurus agama Hindu Syiwa dan Dharmadjaksa ring Kasogatan yang
mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang
disebut Dharma Upapatti. Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut,
kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta
toleransi. Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun
1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga ada yang
beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dan berita Ma-Huan tersebut dapat
diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit. Kehidupan
sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma
yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka
Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”.
Kehidupan
Ekonomi
Sebagai negara agraris dan maritim, maka
tentu perekonomian Majapahit bersumber dari pertanian, pelayaran, dan
perdagangan yang saling menunjang dan saling melengkapi. Pemerintahan Majapahit
selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara
tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga
memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas
perdagangan. Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan rempah-rempah.
Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban
menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi
dari daerah pedalaman.
Dengan demikian kehidupan ekonomi Majapahit cukup tinggi
sehingga Majapahit dapat berkembang sebagai kerajaan besar. Sebagai kerajaan
besar tentu kebudayaan Majapahit berkembang dengan baik, hasil peninggalan
Majapahit berupa seni bangunan, patung, dan karya sastra. Seni bangunan Majapahit
antara lain pemandian, atau petirtaan, gapura yang
berbentuk seperti candi bentar maupun Bajang Retu, candi Penataran di
Blitar dan masih banyak lagi candi-candi peninggalan Majapahit yang lain.
Gambar 9. Kelompok Candi
Penataran
Selain seni bangunan, peninggalan
Majapahit juga berupa seni patung yaitu seperti patung perwujudan
Raden Wijaya sebagai Harihara atau sebagai Syiwa dan Wisnu
dalam satu arca, patung putri Suhuta dan patung Tribhuwana sebagai
Parwati. Sedangkan peninggalan Majapahit dalam bidang seni sastra juga
cukup banyak, selain kitab-kitab yang telah disebutkan pada uraian materi
sebelumnya, juga kitab-kitab yang lain yaitu seperti kitab Arjunawiwaha yang
ditulis oleh Mpu Tantular, kitab Ranggalawe, kitab Sorondaka yang
berbentuk kidung dan juga ada kitab hukum yang ditulis oleh Gajahmada
yaitu kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di
Majapahit. Kitab Hukum Kutaramanawa disusun berdasarkan kitab Hindu yang
lebih tua yaitu kitab Kutarasastra dan Manawasastra. Dengan
demikian dari kitab hukum tersebut, merupakan salah satu contoh wujud
akulturasi dengan kebudayaan India.
By: Aprilia Karina
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Kartodirdjo, S., Marwati, D.P., Nugroho, N., SEJARAH NASIONAL INDONESIA, 1975, 2
jilid.
http://id.PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN AGAMA SERTA KEBUDAYAAN
HINDU-BUDHA DI INDONESIA.pdf.
http://id.shvoong.com/humanities/history/2076542-sejarah-kerajaan-sunda/.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda.
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/131.htm.